Minggu, 07 Desember 2014

SURAT PEMBERITAHUAN ....ATAU SPT

SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)

A.    Pengertian Surat Pembertitahuan (SPT).
SPT adalah surat yang oleh WP digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan per-UU-an Pajak. SPT tediri dari :
·         SPT tahunan PPh;
·         SPT Masa yang meliputi : SPT masa PPh, SPT Masa PPN  dan SPT Masa Pemungut PPN.

SPT tersebut berbentuk formulir kertas (hardcopy); atau e-SPT
E-SPT adalah data SPT WP dalam bentuk elektronik yang dibuat oleh WP dengan menggunakan aplikasi e-SPT yang disediakan oleh DJP. Aplikasi e-SPT adalah aplikasi dari DJP yang dapat digunakan WP untuk membuat e-SPT.

B.     Kewajiban menyampaikan SPT.
Kewajiban melaprkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-Undangan perpajakan dalam SPT tercantum dalam pasal 3 ayat 1 UU KUP yang berbunyi :
“ Setiap WP Wajib mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, Angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor DJP tempat WP terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.”
Yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi SPT adalah :
a.       Benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan UU Pajak, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
b.      Lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT; dan
c.       Jelas melapokan asal –usul / sumber objek pajak dan unsur lain yang harus diisikan dalam SPT.
SPT yang telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas tesebut wajib disampaikan ke kantor DJP tempat WP terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh DJP, dan kewajiban penyampaian SPT oleh pemotong atau Pemungut Pajak dilakukan untuk setiap Masa Pajak.


C.      Tempat dan cara pengambilan SPT.
Pasal 3 ayat (2) UU KUP menyatakan , WP mengambil sendiri SPT di tempat yang ditetapkan oleh Dirjen (pada kantor DJP atau tempat lain yg diperkirakan mudah terjangkau oleh WP) atau mengambil dengan cara lain yang tata cara pelaksananya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Dalam PMK No. 181/PMK.03/2007 tgl 28-12-2007 yang telah diuabah dengan PMK 152/pmk.03/2009 diatur :
·         SPT berbentuk formulir kertas (hardcopy) dapat diambil secara langsung di tempat yan ditetapkan oleh Dirjen Pajak.
·         SPT berbetuk e-SPT  dapat diambil secara langsung oleh WP dengan cara mengunduh format SPT atau aplikasi e-SPT dari situs DJP.

D.    Penandatanganan SPT
Mengenai kewajiban WP menandatangani SPT, selain diatur dalam pasal 3 ayat 1 UU KUP , juga disebut dalam Pasal 4 ayat 1 yang berbunyi bahwa: “WP wajib mengisi dan menyampaikan SPT dengan benar, lengkap, jelas dan menandatanganinya.”
Bagi WP badan yang berhak menandatangani SPT tersebut adalah pengurus atau direksi (Pasal 4 ayat 2 UU KUP ). Meskipun yang dimaksud dengan pengurus sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal 32 ayat 4 UU KUP adalah termasuk orang yang nyata nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan ,misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan, dan termasuk pula bagi komisaris dan pemegang saham mayoritas ata pengendali, namun untuk penandatanganan SPT sebaiknya tetap orang yang namanya tercantum dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan. Ketentuan mengenai orang yang tidak tercantum namanya dalam akte pendirian beserta perubahannya yang dianggap sebagai pengurus tepat diberlakukan bagi kewajiban perpajakan lainnya seperti misalnya untuk kepentingan penagihan pajak.
            SPT yang disampaikan wajib ditandatangani oleh WP atau kuasa WP. Dalam hal WP menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk mengisi dan menandatangani SPT, surat kuasa khusus tersebut harus dilampirkan pada SPT ( Pasal 4 ayat 3 UU KUP). Penandatanganan SPT oleh WP/ Kuasa WP dapat dilakukan secara biasa, tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan biasa. Tanda tangan elektronik atau tanda tangan digital adalah informasi elektronik yang dilekatkan, memiliki hubungan langsung atau terasosiasi pada suatu informasi elektronik lain termasuk sarana administrasi perpajakan yang ditujukan oleh WP atau kuasanya untuk menunjukkan identitas dan status yang bersangkuan. (PMK No. 181/PMK.03/2007).


E.     Cara penyampaian SPT
a.       Secara langsung dan diberikan tanda penerimaan surat;
b.      Melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c.       Dengan cara lain seperti:
·         Melalui perusahaan jasa ekspedisi/kurir dengan bukti pengiriman surat;atau
·         e-Filling melaui ASP (Penyedia Jasa Aplikasi) dan diberikan Bukti Penerimaan Elektronik

F.      Batas Penyampaian SPT.
Batas waktu penyampaian SPT pada pasal 3 ayat 3 UU KUP diatur sbb :
a.       SPT Masa PPh, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa pajak
b.      SPT Masa PPN, Paling lama akhir bulan beikutnya setelah akhir Masa Pajak;
c.       SPT Tahunan WP Orang Pribadi, paling lama 3 bulan setelah akhir Tahun Pajak;
d.      SPT Tahunan WP Badan, palig lama 4 bulan setelah akhir Tahun Pajak.

G.    SPT dianggap tidak disampaikan.
Dalam Pasal 3 ayat 7 UU KUP dinyatakan bahwa , SPT dianggap tidak disampaikan apabila :
a.       SPT tidak ditandatangani
b.      SPT tidak dilampiri keterangan dan/atau dokumen sesuai dengan Per. Menkeu;
c.       SPT lebih bayar disampaikan telah lewat 3 tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun pajak atau Tahun Pajak, dan WP telah ditegur scara tertulis; atau
d.      SPT disampaikan setelah Dirjen Pajak melakukan Pemeriksaan / menerbitkan SKP.
Apabila SPT dianggap tidak disampaikan, Dirjen Pajak wajib memberitahukan kepada WP (Pasal 3 ayat 7a UU KUP). SPT tersebut selanjutnya dianggap sebagai data perpajakan.
Mengenai dokumen yang harus dilampirkan pada SPT dalam PMK No. 181/PMK.03/2007 jo. PMK-152/PMK.03/2009 tentang “Bentuk dan Isi SPT, serta Tata cara Pengambilan, Pengisian, dan Penyampaian SPT” dinyatakan bahwa:
·         SPT terdiri dari SPT Induk dan lampiran, merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
·         SPT harus dilampiri dengan keterangan dan/atau dokumen sesuai dengan UU Pajak;
·         Ketentuan mengenai dokumen yang harus dilampirkan dalam SPT diatur dengan peraturan DJP.



H.    WP dengan kriteria tertentu yang dapat melaporkan beberapa masa Pajak dalam satu SPT Masa.
Dalam pasal 3 ayat (3a) dan (3b) ditetapakan bahwa WP dengan krieria tertentu dapat melaporkan beberapa Masa Pajak dalam  1 (satu) SPT Masa. WP dengan kriteria tertentu dan tata cara pelaporan diatur dengan atau berdasarkan PMK No.182/PMK.03/2007 sbb :
1.      WP dengan krieria tertentu dapat menyampaikan 1 (satu) SPT Masa untuk beberapa Masa Pajak sekaligus yang meliputi :
a.       WP Usaha Kecil; terdiri dari:
1). WP Orang Pribadi yang menjalankan kegiata usaha atau melakukan pekerjaan bebas, yang harus memenuhi kriteria sbb :
·         WP Orang Pribadi dalam negeri; dan
·         Menerima atau memperoleh peredaran usaha dari kegiatan usaha atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebas dalam Tahun Pajak sebelumnya tidak lebih dari Rp. 600.000.000- (enam ratus juta rupiah)
2). WP Badan yang harus memenuhi criteria sebagai berikut :
·         Modal WP 100%(seratus persen) dimiliki oleh WNI
·         Menerima atau memperoleh peredaran usaha dalam tahun Pajak sebelumnya tidak lebih dari Rp. 900.000.000-; atau
·         WP di daerah tertentu, adalah WP yang tempat tinggal/kedudukan/kegiatan usahanya berlokasi di daerah tertentu yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.
2.      Tata Cara pelaporan
a.       WP yang termasuk dalam kriteria tertentu yang bermaksud melaporkan beberapa masa pajak dalam satu SPT Masa harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Dirjen pajak paling lambat 2 (dua) bulan sebelum dimulainya masa pajak pertama yang oleh WP akan disampaikan dalam SPT Masa yang meliputi beberapa Masa sekaligus.
b.      Terhadap pemberitahuan secara tertulis dilakukan penelitian;
c.       Apabila berdasarkan penelitian WP tidak memenuhi kriteria, Dirjen Pajak memberitahukan secara tertulis kepada WP.
I.       WP PPh tertentu yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT.
Berdasarkan PMK No. 183/PMK.03/2007 yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT dapat diuraikan sbb :
a.       Dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 dan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yaitu WP Orang Pribadi yang dalam satu Tahun Pajak menerima atau memperoleh penghasilan neto tidak melebihi PTKP sebagaimana dimaksud UU PPh.
b.      Dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT masa PPh Pasal 25 yaitu WP Orang Pribadi yang tidak menjalankan kegiatan usaha ata tidak melaukan pekerjaan bebas.

J.       Sanksi Karena tidak menyampaikan SPT
Sanksi bagi WP yang tidak menyampaikan SPT, dapat berupa sanksi administrasi ataupun sanksi pidana. Sanksi administrasi dapat berupa denda sebgaimana diatur dalam pasal 7 UU KUP atau berupa kenaikan sebagaimana diatur dalam pasal 13 ayat 3 UU KUP. Sanksi Pidana dapat berupa kurungan atas tindak pidana kealpaan sebagaimana diatur dalam pasal 38 UU KUP ataupun penjara atas tindak pidana kesengajaan sebagaimana diatur dalam pasal 39 UU KUP.
K.    Surat Teguran atas SPT yang tidak disampaikan.
Apabila SPT tidak disampaikan sesuai batas waktu yang ditentukan atau batas waktu perpanjangan penyampaian SPT Tahunan, dapat diterbitkan Surat Teguran (Pasal 3 ayat 5a UU KUP). Penerbitan Surat teguran, disamping merupakan bentuk pembinaan terhadap WP, juga merupakan syarat bagi dikenainya WP yang bersangkutan dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat 1 huruf b dan Pasal 13 ayat 3 UU KUP.
L.     Sanksi administrasi berupa denda.
Pasal 7 ayat (1) UU KUP menyatakan apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktunya atau batas waktu perpanjangan penyampaian SPT, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar:
·         RP. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT Masa PPN
·         Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah ) untuk SPT Masa lainnya
·         RP. 1.000.0000 ( satu juta rupiah ) untuk SPT Tahunan PPh WP Badan
·         Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi.
Ayat (2) menyatakan bahwa “Sanksi administrasi berupa denda diatas tidak dilakukan terhadap :
a.       WP Orang Pribadi yang telah meninggal dunia
b.      WP Orang Prbadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
c.       WP Orang Pribadi yang berstatus sebagai WNA yang tidak tinggal lagi di Indonesia
d.      BUT yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi di Indonesia;
e.       WP Badan yang tidak melakukan usaha lagi tetapi belum bubar sesuai dengan ketentuannya.
f.       Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
g.      WP yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Per. Menkeu; atau
h.      WP lain yang diatur dengan atau berdasarkan PMK.
Yang dimaksud dengan WP lain tersebut pada huruf h berdasarkan PMK No. 186/PMK.03/2007 adalah WP yang tidak dapat menyampaikan SPT dalam jangka waktu yang telah ditentukan karena keadaan antara lain :
·      Kerusuhan massal;
·      Kebakaran;
·      Ledakan bom atau aksi terorisme;
·      Perang antar suku;
·      Kegagalan system komputer administrasi penerimaan Negara atau perpajakan.
·      Penetapan WP tersebut dilakukan dengan Keputusan Dirjen Pajak

M.   Sanksi administrasi berupa kenaikan.
Sanksi administrasi berupa kenaikan dapat dikenakan melalui penerbitan SKPKB, apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktunya dan setelah ditegur secara tertulis, tetap tidak disampaikan pada waktuya sebagaimana ditentukan dalam Surat teguran (Pasal 13 ayat 1 huruf b  UU KUP). Dari jumlah pajak dalam SKPKB yang diterbitkan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sesuai dengan Pasal 13 ayat 3 UU KUP.

N.    Sanksi Pidana Kurungan.
Pidana kurungan dalam Pasal 38 UU KUP dikenakan terhadap setiap orang yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT.
Pasal 38 UU KUP tersebut berbunyi: “Setiap orang yang karena kealpaannya : a. tidak menyampaikan SPT; atau b.menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam pasal 13A, didenda paling sedikit 1 kali jumlah pajak terutan yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 bulan atau paling lama 1 tahun.”


O.    Hak WP berkaitan dengan penyampaian SPT.
Berkaitan dengan kewajiban melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan melalui SPT, WP mempunyai hak-hak sbb :
a.       Memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan
b.      Membetulkan SPT
c.       Mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT.

1.   Memperpanjang Jangka Waktu penyampaian SPT.
     Hak WP untuk memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan dinyatakan dalam Pasal 3 ayat 4 UU KUP yang berbunyi: “ WP dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada Dirjen pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”
     Ketentuan sebelumnya melalui prosedur permohonan.  Hak ini diperlukan apabila WP baik Orang Pribadi maupun Badan ternyata tidak dapat menyampaikan SPT dalam jangka waktunya karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan keuangan, atau sebab lainnya sehingga sulit untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan. Hak memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan ini berguna bagi WP untuk menghindari sanksi administrasi karena melakukan pelanggaran terlambat menyampaikan SPT Tahunan.

2.   Akibat administrative penundaan penyampaian SPT Tahunan.
                 Pasal 19 ayat 3 UU KUP menyebutkan “ Dalam hal WP diperbolehkan menunda penyampaian SPT Tahunan dan ternyata penghitungan sementara pajak yan terutang sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang, atas kekurangan pembayaran pajak tersebut dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.”
Contoh : PT. ABC setelah menyampaikan pemberitahuan tertulis menunda jangka waktu penampaian SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2009 (Tahun Takwim) sampai dengan tanggal 30 Juni 2010 dengan perhitungan sementara pajak terutang sebesar 100 juta dan kredit pajak Rp. 80 juta. Kekurangan pajak (PPh Pasal 29) sebesar Rp. 20 Juta dilunasi pada tanggal 25 April 2009. PT. ABC menyampaikan SPT sesungguhnya pada tanggal 30 Juni 2010 dengan jumlah pajak yang terutang sebesar Rp. 120 Juta. Kekurangan pembayaran dilunasi tanggal 28 Juni 2010.
Dari kasus ini PT. ABC dikenakan bunga selama 2 bulan (1 Mei 2010 s/d 28 Juni 2010) atau sebesar 2%x2xRp.20.000.000=Rp. 800.000,00

3.   Membetulkan SPT
Pembetulan SPT merupakan hak WP dalam hal terdapat kekeliruan pengisian SPT yang sudah disampaikan, dengan syarat belum dilakukan pemeriksaan. Pembetulan dilakukan antara lain untuk menghindari sanksi administrasi berupa bunga karena pemeriksaan pajak. Kekeliruan pengisian SPT juga disebabkan karena kekeliruan kompensasi kerugian sebagai akibat diterbitkannya SKP, SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Pasal 8 ayat 1 UU KUP menyatakan bahwa: “WP dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPT yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Dirjen Pajak belum elakukan tindakan pemeriksaan.” Pasal 8 ayat 1a UU KUP menyatakan:” Dalam hal pembetulan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan SPT harus disampaikan paing lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan”
·            Pernyataan tertulis dalam pembetulan SPT dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam SPT yang menyatakan bahwa WP yang bersangkutan membetulkan SPT (PP Nomor 80 Tahun 2007);
·            Yang dimaksud dengan ‘mulai melakuka tindakan pemeriksaan” adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeiksaan Pajak (SP3) disampaikan kepada WP, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari WP.
·            Yang dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.

4.   Sanksi Administratif akibat Pembetulan SPT Tahunan
Pasal 8 ayat 2 UU KUP meyebutkan”Dalam hal WP membetulkan sendiri SPT Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

5.   Sanksi Administrasi akibat Pembetulan SPT Masa.
Pasal 8 ayat 2a UU KUP menyatakan “Dalam hal WP membetulkan sendiri SPT Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran smpai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.”
Contoh : PT ABC membetulkan sendiri SPT Masa PPN masa Januari 2010 pada tanggal 20 November 2010, semula menyatakan jumlah Pajak keluaran yang harus dipungut sendiri sebesar Rp. 100 juta dan kredit pajak Rp. 80 juta, dibetulkan menjadi jumlah pajak Keluaran  yang seharusnya dipungut sebesar Rp. 130 juta dan kredit pajak tetap. Kekurangan pembayaran pajak Rp. 30 juta dibayar pada tanggal 18 November 2010.
                  Akibatnya PT. ABC dikenai bunga 10 bulan (16 Februari 2010 s/d 18 Nopember 2010) atau sebesar : 2% x 10 x Rp.30.000.000,00 = Rp. 6.000.000,00

6.   Pembetulan SPT karena Kompensasi Kerugian .
Pasal 8 ayat 6 UU KUP menyatakan bahwa : “WP dapat membetulkan SPT Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal WP menerima SKP, SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam SPT Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima SKP, SK Keberatan, SK pembetulan Putusan banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Dirjen Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.”

Contoh : PT. A menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun 2012 yang menyatakan:
Penghasilan neto sebesar                                                         Rp.200.000.000,00
Kompensasi kerugian berdasarkan SPT Tahunan                  
PPh Tahun 2011 sebesar                                                         Rp.150.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak                                                          Rp.50.000.000,00
Terhadap SPT Tahunan PPh Thn 2011 dilakukan pemeriksaan, pada tanggal 6 Januari 2013 diterbitkan SKP yang menyatakan rugi Rp.70 Juta. Berdasarkan SKP tersebut Dirjen pajak akan mengubah perhitungan Penghasilan Kena Pajak thn 20099 menjadi sbb :
Penghasilan Neto sebesar                                                        Rp.200.000.000,00
Rugi menurut SKP tahun 2011 sebesar                                  Rp.70.000.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak                                                          Rp.130.000.000,00

Dengan demikian penghasilan kena pajak dari SPT yang semula Rp.50 juta (Rp.200 juta – Rp.150 juta) setelah pembetulan menjadi Rp. 130 juta (Rp.200 Juta – Rp.70 Juta).
 7.  Mengungkapkan Keidakbenaran Pengisian SPT.
Mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT adalah hak WP, untuk menghindar dan kemungkinan dikenai sanksi/hukuman pidana pajak.

a. Mengungkapkan Ketidakbenaran Pengisian SPT karena Kealpaan.
Pasal 8 ayat 3 menyatakan bahwa:”walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidak benaran perbuatan WP tersebut tidak akan dilakukan penyelidikan, apabila WP dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi adminstrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dan jumlah pajak yang kurang dibayar”. Ketentuan ini dijelaskan oleh PP No. 74 Tahun 2011 sebagai berikut:
a)    Ketidakbenaran yang dilakukan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 adalah “Setiap orang yang karena kealpaannya: tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah, pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama I (satu) tahun.”
b)    Pemyataan tertulis harus ditandatangani oleh WP dan dilampiri dengan:
·         Perhitungan kekurangan pembayaran pajak yg benar, dgn format SPT
·         SSP bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak.
·          SSP bukti pembayaran sanksi administrasi denda sebesar 150 %.
c)    Terhadap WP yg telah mengungkapkan ketidakbenaran Perbuatannya dan sekaligus melunasi kekurangan pembayaran pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasinya tidak akan dilakukan penyidikan sepanjang tidak ditemukan data yang menyatakan lain dan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut.
d)   Apabila telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya penyidikan tersebut diberitahukan kepada Penuntut Umum, kesempatan untuk membetulkan sendiri sudah tertutup bagi WP yang bersangkutan.

b. Mengungkapkan kesalahan pengisian SPT setelah dilakukan pemeriksaan.
Pasal 8 ayat 4 UU KUP menyatakan bahwa:”Walaupun Dirjen Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Dirjen Pajak belum menerbitkan SKP, WP dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidak benaran pengisian SPT yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
a.       pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil.
b.      rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi Iebih kecil atau lebih besar;
c.       jumlah harta menjadi Iebih besar atau lebih kecil; atau
d.      jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil

dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan.

Mengenai sanksinya diatur dalam Pasal 8 ayat 5 yang menyatakan bahwa:”Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dan pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (Jima puluh persen) dan pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi oleh WP sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.”

RH In-House Training
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Akuntansi dan Perpajakan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar