Selasa, 09 Desember 2014

KENAPA KOK TERJADI SENGKETA PAJAK ....?.

SENGKETA PAJAK


 A. Pengertian Sengketa Pajak
            Yang dimaksud dengan sengketa pajak dalam bab ini adalah sengketa pajak Pasal 1 angka 5 UU Pengadilan Pajak, yaitu: “sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara WP atau Penanggung Pajak (PP) dengan dan yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”
            Sengketa yang timbul akibat suatu keputusan yang dikeluarkan Dirjen Pajak  sesuai kewenangan yang dimilikinya berdasarkan UU KUP dan terhadap keputusan tersebut , WP atau PP merasa tidak puas yang selanjutnya mengajukan upaya hukum sesuai UU KUP. Selanjutnya, penyelesaian sengketa pajak yang demikian hanya bermuara pada banding atau Gugatan di Pengadilan Pajak .

B. Penyelesaian Sengketa Pajak.
            Terhadap setiap keputusan yang dikeluarkan fiskus yang menyangkut WP atau PP berpotenesi menimbulkan sengketa pajak apabila WP atau PP merasa tidak puas terhadap
keputusan tersebut dan sepanjang keputusan tersebut dapat diajukan Banding atau
Dalam pengertian ini muara penyeesaian sengketa pajak hanya meIaui Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak. Meskipun demikian sebelum sampai kepada PengadiIan Pajak “sengketa pajak” bisa saja diselesaikan terlebih dahulu di DJP  untuk beberapa keputusan. Selain itu terdapat juga sengketa pajak yang penyelesaiannya dilakukan pada tingkat Mahkamah Agung, yaitu peninjauan kembali. Dengan pengertian seperti ini, maka penyelesaian sengketa pajak bisa diselesaikan di DJP (sebelum ke Pengadilan Pajak), atau di Pengadilan Pajak. Sementara itu untuk upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali diselesaikan di Mahkamah Agung.

C. Penyelesaian di DJP “sebelum” ke Pengadilan Pajak.
            Penyelesaian sengketa pajak yang dapat diselesaikan di DJP atau penyelesaian menjadi kewenangan Dirjen Pajak, berdasarkan UU KUP terdiri dan: pembetulan suatu keputusan, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, pengurangan/pembatalan STP, dan pembatalan hasil pemeriksaan atau SKP hasil pemeriksaannya, dengan rincian sebagai berikut:

1. Pembetulan Suatu Keputusan.

            Pasal 16 ayat UU KUP menyatakan bahwa: “Atas permohonan WP atau karena jabatan, Dirjen Pajak dapat membetulkan SKP, STP, SK Pembetulan, SK Keberatan, SK Pengurangan / Penghapusan Sanksi Administrasi, SK Pengurangan I Pembatalan Ketetapan Pajak, SK Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau SK Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan  perundang-undangan”
Pembetulan menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas  pemerintahan yang baik sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang  bersifat manusiawi yang ditemukan fiskus maupun atas permohonan WP, harus dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan WP. Pengertian “membetulkan pada  ayat ini, antara lain, menambahkan mengurang kan, atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruannya.
            Jika masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam per-UU-an Pajak, WP dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada Dirjen Pajak, atau Dirjen Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena jabatan.

a. Keputusan/Ketetapan yang Dapat Dibetulkan.
Keputusan/Ketetapan yg dapat dibetulkan karena kesalahan atau
kekeliruan adalah sebagai berikut:
1) SKP, yang meliputi SKP KB, SKP KBT, SKP Nihil, dan SKP LB;
2) STP;
3) SK Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
4) SK Pemberan Imbalan Bunga;
5) SK Pembetujan;
6) SK Keberatan;
7) SK Pengurangan Sanksi Administrasi;
8) SK Penghapusari Sanksi Administrasm;
9) SK Pengurangan Ketetapan Pajak; atau
10) SK Pembatajan Ketetapan Pajak.

b. Jenis Kekeliruan / Kesalahan yang Dapat Dibetulkan.
1) Ruang lingkup pembetulan yang diatur pada ayat ini terbatas pada kesalahan atau kekeliruan sebagal akibat dari:
2) kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, NPWP, nomor SKP, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak, dan tangal jatuh tempo.
)  kesaIahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dan penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan; atau
4)  kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalarn peraturan perundang -undangan perpajakan, yaitu kekeliruan, dalam penerapan tarif, kekeliruan
penerapan persentase NPPN, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan PTKP, kekeliruan penghitungan PPh dalam tahun berjalan, dan
kekeliruan dalam pengkreditan pajak.

C. Jangka waktu Keputusan Pembetulan.
            Dirjen Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas perrnohonan pembetulan yang diajukan WP (Pasal 16 ayat 2).
Apabila  jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah lewat, tetapi Dirjen Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pembetulan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan (Pasal 16 ayat 3). Apabila diminta oleh WP, Dirjen Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal  yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan  WP tersebut (Pasal 16 ayat 4).
2. Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi.
            Kewenangan Dirjen Pajak untuk melakukan pengurangan atau penghapusan  sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan diberikan oleh Pasal 36
ayat 1 UU KUP Jo. PMK No. 8/PMK.03/2013, dengan pengaturan bahwa “Dirjen atas permohonan WP dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan  ketentuan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan WP atau  atau karena kesalahannya.”
            Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada WP tidak tepat  karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani WP yang tidak  bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat  dihapuskan atau dikurangkan oleh Dirjen Pajak. Sebagai peraturan pelaksanaan diterbitkan.

3. Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak.
            Kewenangan Dirjen Pajak untuk melakukan pengurangan atau pernbatalan ketetapan pajak diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b, yang berbunyi: “Dirlen Pajak karena jabatan atau atas permohonan WP dapat mengurangkan atau membatalkan SKP yang tidak benar.”
Dirjen Pajak berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan SKP yang tidak benar, misalnya WP yang tidak diterima pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi. Pelaksanaan Pasal 36 ayat (1) huruf b ini diatur dgn PMK No. 8/PMK.03/2013 yaltu antara lain:
a. tidak diajukan keberatan;
b. diajukan keberatan, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak telah mennyetujui permohonan pencabutan wajib pajak tersebut;
c. diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan;
d. tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
e. diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak;
f. tidak sedang diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi
g. diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak; atau
h. diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi, tetapi permohonan tersebut ditolak.

4. Pengurangan / pembatalan STP.
Kewenangan Dirjen Pajak untuk melakukan pengurangan atau pembatalan STP terdapat dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c UU KUP yang berbunyi; “Dirjen Pajak karena jabatan atau atas permohonan WP dapat mengurangkan atau membatalkan STP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar.” Pelaksanaan Pasal 36 ayat (1) huruf c ini diatur dgn PMK No. 8/PMK.03/2013

5. Pembatalan Hasil  Pemerjksaan atau SKP Hasil Pemerikesan.
Dalam rangka memberjkan keadilan dan melindungi hak WP, Dirjen atas kewenangannya atau atas permohonan WP dapat membatalkan hasil pemeriksaan pajak yang diaksanakan tanpa penyampalan surat pemberitahuan hasi pemeriksaan atau tanpa dilakukan  pembahasan akhir hasil  pemeriksaan dengan WP. Namun, dalam  hal WP  tidak hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan sesual dengan  batas waktu yang ditentukan, permohonan WP tidak dapat dipertimbangkan.
Kewenangan Dirjen Pajak untuk membatalikan hasil  pemeriksaan atau SKP hasil pemeriksaan terdapat dalarn Pasal 36 ayat (1) hunf d, yang berbunyi: “Dirjen Pajak karena  jabatan atau atas permohonan WP dapat membatalkan hasil pemeriksaan pajak  atay SKP dari  hasil pemeriksaan yang diaksanakan tanpa:
a. penyampaian  surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
b Pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.”
Pelaksanaan Pasal 36 ayat (1) huruf d mi diatur dgn PMK No. 8/PMK.03/201 3.

4. Kebe r a t a n.
            Dalam penjelasan Pasal 25 ayat 1 UU KUP disebutkan apabila WP berpendapat  bahwa  jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana
mestinya, WP dapat mengajukan keberatan hanya kepada Dirjen Pajak. Keberatan yang diajukan adalah mengenal materi atau isi dan ketetapan pajak, yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah  besarnya pajak, atau pemotongan atau pemungutan pajak.
Ketentuan mengenai keberatan dalam Pasal 25 ayat 1 UU KUP berbunyi: “WP dapat mengajukan  keberatan hanya kepada Dirjen Pajak atas suatu:

a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan  ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
Yang dimaksud dengan “suatu” pada ayat ini adalah I (satu) keberatan harus diajukan  terhadap 1 (satu) jenis pajak dan 1 (satu)  Masa Pajak atau Tahun Pajak.
Contoh : Keberatan atas ketetapan PPh Tahun Pajak 2009 dan Tahun Pajak 2010 harus diajukan masing-masing dalam 1 (satu) surat keberatan tersendiri. Untuk 2 (dua) Tahun  pajak  harus diajukan 2 (dua) buah surat keberatan.

a. Ketentuantan mengenal pengajuan Keberatan.
saan dan syarat pengajuan keberatan diatur dalam Pasal 25 UU KUP jo Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2013 adalah sebagal berikut :

I) Keberatan diajukan oieh WP dengan menyampaikan surat keberatan ke KPP  tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat PKP dikukuhkan melalui
a) penyampaian langsung;
b) pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c) cara lain, meliputi: a) melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau b) e-Filing mela!ui ASP;

b. Pengajuan keberatan yang dituangkan dalam bentuk surat keberatan harus memenuhi syarat sbb:
1)  diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
2)  mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan WP dengan disertal alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan;
3)  1 (satu) surat keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) SKP, untuk 1 (satu) pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;
4)  Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil  pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil  verifikasi, sebelum Surat Keberatan disampaikan;
5)  diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat ketetapan pajak diterbitkan (untuk tahun pajak 2007 dan sebelumnya), sejak tanggal surat ketetapan pajak dikirim (untuk tahun pajak 2008 dan sesudahnya) atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga kecuali WP dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan WP (force majeur); dan
6)  Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP;
7)  Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan pengurangan I pembatalan STP dan atau SKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Undang-Undang KUP.
Surat keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan SK Keberatan, serta hal ini diberitahukan secara tertulis kepada WP. Dalam hal surat keberatan yang disampaikan oleh WP belum memenuhi persyaratan, WP dapat menyampaikan perbaikan surat keberatan dengan melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan dimaksud  terlarnpaui, dengan demikian tanggal penyampalan per baikan surat keberatan tanggal surat keberatan diterima.
            Untuk keperluan pengajuan keberatan, WP dapat meminta kepada Dirjen Pajak untuk memberi keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak  atau perhitungan rugi, dan hal ini wajib dipenuhi oleh Dirjen Pajak dalam jangka waktu  paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak surat permintaan WP diterima;
Jangka waktu pemberian keterangan oleh Dirjen Pajak atas permintaan WP tersebut tidak  menunda jangka waktu pengajuan keberatan. Dirjen Pajak dalam jangka waktu paling lama  12 bulan  sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan  yang diajukan.
            Keputusan Dirjen Pajak dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yg masih harus dibayar. Apabila jangka  Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui, Dirjen Pajak tidak menerbit kan SK Keberatan, keberatan kañ WP dianggap dikabulkan dan Dirjen Pajak wajib menerbitkan SK Keberatan  sesuai dengan keberatan WP.
                 
C. Waktu Pelunasan Pajak akibat Pengajuan Keberatan.

Persyaratan pengajuan keberatan bagi WP adalah harus melunasi terlebih dahulu  sejumlah kewajiban perpajakannya yang telah disetujui WP pada saat pembahasan  akhir hasil pemeriksaan. Pelunasan tersebut harus ditakukan sebelum WP mengajukan keberatan, dan hal ini diatur dalam Pasal 25 ayat 3a UU KUP.
:Dalam  hal WP mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana
dalam Pasal 9 ayat 3 (satu bulan sejak tanggal diterbitkan SKP KB atau SKP KBT) atau ayat 3a (jangka waktu pelunasan bagi WP usaha kecil dan WP di daerah  tertentu ) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan,
tertangguh  sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanqqal penerbitan SK Keberatan (Pasal  25 ayat 7 UU KUP).
-Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga  sebesar 2% per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah  pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan.

Contoh : Setelah dilakukan pemeriksaan atas SPT PPh Badan tahun 2011 atas nama  PT. ABC diterbitkan SKP KB tanggal 10 Oktober 2012 dengan rincian sebagal sbb:
Jumlah Pokok Pajak                                                                Rp. 120.000.000,-
Jumlah  Kredit Pajak                                                               Rp. 100.000.000,-
Jumlah Kekurangan Pembayaran Pokok Pajak                       Rp. 20.000.000,-
Sanksi  Administrasi (2% X 10 bulan = 20%)                        Rp.   4.000.000
Jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar                              Rp. 24.000.000
Misalkan dalarn pembahasan akhir, PT ABC hanya menyetujui jumah kekurangan pembayaran pokok pajak sebesar Rp.5. 000.000,-.
Dalam hal PT ABC mengajukan keberatan maka PT ABC wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar yang telah disetujui yaitu sebesar Rp.6juta {Rp5juta + (20% x Rp5juta)} sebelum surat keberatan disampaikan. Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat mengajukan keberatan yaitu sebesar Rp.18juta, tertangguh sampai dengan 1 bulan, sejak tanggal penerbitan SK Keberatan. Dan sanksi administrasi berupa bunga 2% pe bulan (Pasal 19) atas jumlah Rp.18 juta tidak diberlakukan.
Selanjutnya dalam Pasal 25 ayat 9 UU KUP dinyatakan bahwa “Dalam hal keberatan WP ditolak atau dikabulkan sebagian, WP dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dan jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan,”
Contoh : Misalkan keberatan PT ABC pada kasus di atas ditolak dengan SK Keberatan anggal 20 Februari 2013, maka atas jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan yaitu Rp.l8juta dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% atau Rp.9 juta. Jatuh tempo pelunasan kekurangan pembayaran pajak ditambah sanksi administrasi (Rp.27juta) dalam SK Keberatan tersebut adalah tanggal 19 Maret 2013.
Apabila WP mengajukan permohonan banding maka sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (Lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dikenakan. (Pasal 25 ayat 10 UU KUP).

D. Penyelesaian di Pengadilan Pajak.
Penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan Pajak meliputi banding dan gugatan.
1.Banding.

            mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak sebagaimana tertera dalam Pasal Upaya hukum selanjutnya yang dimiliki WP dalam hal tidak puas dengan SK  Keberatan yang diterbitkan fiskus adalah 27 ayat 1 UU KUP.
Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan  alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulari sejak SK Keberatan diterima dan  dilampiri dengan salinan SK Keberatan tersebut {Pasal 27 ayat 3}.
            Apabila diminta oleh WP untuk keperluan pengajuan perrnohonan banding, Dirjen Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar SK Keberatan diterbitkan (Pasal 27 ayat 4a UU KUP).
a. Jangka Waktu Pelunasan SK Keberatan dalam hal WP mengajukan Banding.
            Bagi WP yang mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak yang  diajukan banding tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagairnana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan. Sebagairnana dinyatakan  dalam Pasal 27 ayat 5a bahwa: “Dalam hal WP mengajukan banding, jangka
waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), 25 ayat (7), atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat  pengajuan  keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal  Penerbitan  Putusan Banding.”
Misalkan PT ABC pada contoh sebelumnya mengajukan banding, maka kekurangan  pembayaran pajak (Rp.l8juta), tertangguh sampai dengan  1 bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
Sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan (Pasal 19) atas jumlah Rp.l8juta tidak diberlakukan.
            Dalam hal permohonan banding WP ditolak atau dikabulkan sebagian, jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan setelah tanggal penerbitan Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat Paksa aksanakan apabila WP tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, WP dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen)  sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (5d) UU KUP bahwa: “Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabul kan sebagian, WP dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100 % dan jumlah pajak berdasarkan Putusan  Banding dikurangj dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.”
Contoh : Untuk tahun pajak 2011, SKP KB dengan jumlah pajak yang masih harus  dibayar sebesar Rp.1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan  akhir hasil pemeriksaan, WP hanya menyetujui pajak yang masih  dibayar sebesar Rp.200.000.000,00. WP telah melunasi sebagian SKP KB tersebut sebesar  Rp.200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Dirjen Pajak mengabulkan sebagian keberatan WP dengan jumlah  pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp.750.000.000,00.
            Selanjutnya  WP mengajukan permohonan banding dan oleh Pengadilan  Pajak diputuskan  besarnya pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar  Rp.450.000.000,00 .Dalam hal ini baik sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen)  per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 maupun sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) tidak dikenakan. Narnun, WP dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% x
(Rp.450.000.000,00 — Rp.200.000.000,00) = Rp.250.000000,00.

b. Putusan Banding.
            Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap SK Keberatan yang diajukan oleh WP (Pasal 1 angka 31 UU KUP). Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di Iingkungan  peradilan tata usaha negara {Pasa 27 ayat 2 UU KUP}. Sesual dengan UU. Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam penjelasan Pasal 15 ayat 1 yang menyatakan bahwa: “Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” dalarn ketentuan ini antara lain …  pengadilan pajak di Iingkungan  peradilan tata usaha negara.”

2. G u g a tan.

Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak  atau penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau terhadap  keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan  perundang - undangan perpajakan yang berlaku (Pasal I angka 7 UU Pengadilan Pajak
Mengenai gugatan diatur dalam Pasal 23 ayat 2 UU KUP yaitu sbb : “ Gugatan WP atau Penanggung Pajak hanya dapat diajukan kepada peradilan pajak” terhadap:
1. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau  Pengumuman Lelang;
2. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
3. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
4. penerbitan SKP atau SK Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam  ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.


E. Penyelesaian di Mahkamah Agung, “setelah” Pengadilan Pajak.
            Upaya hukum berikutnya yang merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat  dilakukan baik oleh WP maupun fiskus adalah peninjauan kembali. Peninjauan kembali : diatur daam UU Pengadilan Pajak, yaitu sbb:
Pasal 77 ayat 3 :
“Pihak – pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali ata putusan Pengadilan pajak kepada Mahkamah Agung.”
Pasal 91 :
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan – alasan sebagai berikut :
a.       Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b.      Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda.
c.       Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diptus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan c;
d.      Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;atau
e.       Apabila terdapat suatu putusan yang nyata – nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

lihat juga tulisan lainnya  :
http://rudihartono-taxsolution.blogspot.com/2014/12/perlu-diketahui-tentang-keberatan.html

RH In-House Training
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Akuntansi dan Perpajakan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar