Minggu, 07 Desember 2014

SEKILAS TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN (KUP)

UNDANG UNDANG TENTANG
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

A.    Landasan KUP
Falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak warga Negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan, adalah merupakan landasan yang melahirkan UU KUP. Dengan demikian, Pancasila seharusnya menjiwai setiap ketentuan dan pelaksanaan pemungutan pajak di lapangan.
Secara formal landasan segala hukum pajak di Indonesia mengacu pada Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi:”Segala pajak untuk keperluan Negara berdasarkan undang-undang”. Dalam penjelasanya diuraikan:”Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh rakyat sendiri, dengan perantaraan Dewan Perwakilannya. Oleh karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan sendiri nasibnya, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan-pungutan lainnya, harus ditetapkan dengan undang-undang, yaitu dengan persetjuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Landasan hukum ini mengalami perubahan melalui Amandemen ketiga UUD 1945 yang disahkan 10 November 2001 yaitu menjadi pasal 23A dengan bunyi:”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.

B.     Undang – Undang KUP
UU KUP memuat ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang pada prinsipnya berlaku bagi semua undang-undang pajak materiil, kecuali undang-undang pajak materiil yang bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakannya. Undang-undang KUP telah mengalami tiga kali perubahan sejak diundangkan pertama kali dengan UU No.6 Tahun 1983 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2004. Perubahan pertama dilakukan dengan UU Nomor 9 Tahun 1994 dan mulai berlaku 1 januari 1995. Perubahan kedua dilakukan dengan UU  nomor 16 Tahun 2000 dan mulai berlaku tanggal 1 januari 2001. Perubahan terakhir dilakuan dengan UU Nomor  16 Tahun 2009. Kebijakan/tujuan dilakukannya perubahan keempat UU KUP adalah :
1.      Meningkatkan efisiensi pemungutan pajak guna mendukung penerimaan negara;
2.      Meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat guna menaikkan daya saing dalam bidang penanaman modal, dengan tetap mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah;
3.      Menyesuaikan tuntutan perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta perkembangan di bidang teknologi informasi;
4.      Meningkatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban;
5.      Menyederhanakan prosedur administrasi perpajakan;
6.      Menerapkan prinsip self assessment yang akuntabel dan konsisten;
7.      Mendukung iklim usaha ke arah yang lebih kondusif dan kompetitif;
8.      Dengan dilaksanakannya kebijakan pokok tersebut diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dalam jangka menengah dan panjang seiring dengan meningkatnya kepatuhan sukarela para WP dan membaiknya iklim usaha.

C.     Self Assessment.
Salah satu ciri system pemungutan pajak Indonesia adalah self assessment yaitu system pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada masyarakat WP untuk menghitung , memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang. Sistem pemungutan pajak tersebut mempunya arti bahwa penentuan/penetapan , serta pelaporan secara teratur tentang besarnya pajak terutang dan jumlah pajak yang telah dibayar, sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan dipercayakan sepenuhnya kepada WP. Administrasi perpajakan berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemngutan pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan , pelayanan, pengawasan, dan penerapan sanksi perpajakan.
Jiwa Self Assessment tercantum dalam pasal 12 UU KUP yang berbunyi :
1.      Setiap WP wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya SKP.
2.      Jumlah Pajak yang terutang menurut SPT yang disampaikan oleh WP adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3.      Apabila Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang   menurut SPT  sebagaimana dimaksud pada ayat(2) tidak benar, Dirjen Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.

Dari bunyi pasal 12 UU KUP tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa penghitungan pajak yang terutang (untuk Pajak Penghasilan {PPh}, PPN dan PPnBM), pembayarannya ke kas Negara, dan pelaporannya diserahkan sepenuhnya kepada WP serta tidak didasarkan pada SKP yang diterbitkan administrasi pajak. Perhitungan, pembayaran dan pelaporan yang dilakukan WP tersebut diangap benar (sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan) sepanjang Dirjen Pajak tidak dapat membuktikan sebaliknya. Pada prinsip self assessment beban pembuktian (bahwa pajak terutang yang telah dilaporkan adalah tidak benar) berada di pihak fiskus (Dirjen Pajak). SKP hanya diterbitkan oleh fiskus apabila perhitungan wajib pajak tersebut tidak benar berdasarkan pada suatu pembuktian oleh fiskus.

RH In-House Training
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Akuntansi dan Perpajakan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar