SURAT
PEMBERITAHUAN (SPT)
A. Pengertian Surat Pembertitahuan
(SPT).
SPT
adalah surat yang oleh WP digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau
pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan
kewajiban sesuai dengan ketentuan per-UU-an Pajak. SPT tediri dari :
·
SPT tahunan PPh;
·
SPT Masa yang meliputi : SPT masa PPh,
SPT Masa PPN dan SPT Masa Pemungut PPN.
SPT
tersebut berbentuk formulir kertas (hardcopy); atau e-SPT
E-SPT
adalah data SPT WP dalam bentuk elektronik yang dibuat oleh WP dengan
menggunakan aplikasi e-SPT yang disediakan oleh DJP. Aplikasi e-SPT adalah
aplikasi dari DJP yang dapat digunakan WP untuk membuat e-SPT.
B.
Kewajiban menyampaikan SPT.
Kewajiban
melaprkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan
objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-Undangan perpajakan dalam SPT tercantum dalam pasal 3 ayat 1 UU KUP
yang berbunyi :
“
Setiap WP Wajib mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, Angka Arab, satuan mata uang Rupiah,
dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor DJP tempat WP terdaftar atau
dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.”
Yang
dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi SPT adalah :
a. Benar
adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan
peraturan UU Pajak, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
b. Lengkap
adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan
unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT; dan
c. Jelas
melapokan asal –usul / sumber objek pajak dan unsur lain yang harus diisikan
dalam SPT.
SPT yang telah diisi dengan benar,
lengkap, dan jelas tesebut wajib disampaikan ke kantor DJP tempat WP terdaftar
atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh DJP, dan kewajiban penyampaian
SPT oleh pemotong atau Pemungut Pajak dilakukan untuk setiap Masa Pajak.
C.
Tempat dan cara pengambilan SPT.
Pasal
3 ayat (2) UU KUP menyatakan , WP mengambil sendiri SPT di tempat yang
ditetapkan oleh Dirjen (pada kantor DJP atau tempat lain yg diperkirakan mudah
terjangkau oleh WP) atau mengambil dengan cara lain yang tata cara pelaksananya
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Dalam PMK No.
181/PMK.03/2007 tgl 28-12-2007 yang telah diuabah dengan PMK 152/pmk.03/2009 diatur :
·
SPT berbentuk formulir kertas (hardcopy)
dapat diambil secara langsung di tempat yan ditetapkan oleh Dirjen Pajak.
·
SPT berbetuk e-SPT dapat diambil secara langsung oleh WP dengan
cara mengunduh format SPT atau aplikasi e-SPT dari situs DJP.
D.
Penandatanganan SPT
Mengenai
kewajiban WP menandatangani SPT, selain diatur dalam pasal 3 ayat 1 UU KUP ,
juga disebut dalam Pasal 4 ayat 1 yang berbunyi bahwa: “WP wajib mengisi dan
menyampaikan SPT dengan benar, lengkap, jelas dan menandatanganinya.”
Bagi
WP badan yang berhak menandatangani SPT tersebut adalah pengurus atau direksi
(Pasal 4 ayat 2 UU KUP ). Meskipun yang dimaksud dengan pengurus sebagaimana
diuraikan dalam penjelasan Pasal 32 ayat 4 UU KUP adalah termasuk orang yang
nyata nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau
mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan ,misalnya
berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan
sebagainya walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan
pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan, dan termasuk
pula bagi komisaris dan pemegang saham mayoritas ata pengendali, namun untuk
penandatanganan SPT sebaiknya tetap orang yang namanya tercantum dalam susunan
pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan. Ketentuan
mengenai orang yang tidak tercantum namanya dalam akte pendirian beserta
perubahannya yang dianggap sebagai pengurus tepat diberlakukan bagi kewajiban
perpajakan lainnya seperti misalnya untuk kepentingan penagihan pajak.
SPT yang disampaikan wajib
ditandatangani oleh WP atau kuasa WP. Dalam hal WP menunjuk seorang kuasa
dengan surat kuasa khusus untuk mengisi dan menandatangani SPT, surat kuasa
khusus tersebut harus dilampirkan pada SPT ( Pasal 4 ayat 3 UU KUP).
Penandatanganan SPT oleh WP/ Kuasa WP dapat dilakukan secara biasa, tanda
tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya
mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan biasa. Tanda tangan
elektronik atau tanda tangan digital adalah informasi elektronik yang
dilekatkan, memiliki hubungan langsung atau terasosiasi pada suatu informasi
elektronik lain termasuk sarana administrasi perpajakan yang ditujukan oleh WP
atau kuasanya untuk menunjukkan identitas dan status yang bersangkuan. (PMK No.
181/PMK.03/2007).
E.
Cara penyampaian SPT
a. Secara
langsung dan diberikan tanda penerimaan surat;
b. Melalui
pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c. Dengan
cara lain seperti:
·
Melalui perusahaan jasa ekspedisi/kurir
dengan bukti pengiriman surat;atau
·
e-Filling melaui ASP (Penyedia Jasa
Aplikasi) dan diberikan Bukti Penerimaan Elektronik
F.
Batas Penyampaian SPT.
Batas
waktu penyampaian SPT pada pasal 3 ayat 3 UU KUP diatur sbb :
a. SPT
Masa PPh, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa pajak
b. SPT
Masa PPN, Paling lama akhir bulan beikutnya setelah akhir Masa Pajak;
c. SPT
Tahunan WP Orang Pribadi, paling lama 3 bulan setelah akhir Tahun Pajak;
d. SPT
Tahunan WP Badan, palig lama 4 bulan setelah akhir Tahun Pajak.
G.
SPT dianggap tidak disampaikan.
Dalam
Pasal 3 ayat 7 UU KUP dinyatakan bahwa , SPT dianggap tidak disampaikan apabila
:
a. SPT
tidak ditandatangani
b. SPT
tidak dilampiri keterangan dan/atau dokumen sesuai dengan Per. Menkeu;
c. SPT
lebih bayar disampaikan telah lewat 3 tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak,
bagian Tahun pajak atau Tahun Pajak, dan WP telah ditegur scara tertulis; atau
d. SPT
disampaikan setelah Dirjen Pajak melakukan Pemeriksaan / menerbitkan SKP.
Apabila
SPT dianggap tidak disampaikan, Dirjen Pajak wajib memberitahukan kepada WP (Pasal
3 ayat 7a UU KUP). SPT tersebut selanjutnya dianggap sebagai data perpajakan.
Mengenai
dokumen yang harus dilampirkan pada SPT dalam PMK No. 181/PMK.03/2007 jo.
PMK-152/PMK.03/2009 tentang “Bentuk dan Isi SPT, serta Tata cara Pengambilan,
Pengisian, dan Penyampaian SPT” dinyatakan bahwa:
·
SPT terdiri dari SPT Induk dan lampiran,
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
·
SPT harus dilampiri dengan keterangan
dan/atau dokumen sesuai dengan UU Pajak;
·
Ketentuan mengenai dokumen yang harus
dilampirkan dalam SPT diatur dengan peraturan DJP.
H.
WP dengan kriteria tertentu yang dapat
melaporkan beberapa masa Pajak dalam satu SPT Masa.
Dalam
pasal 3 ayat (3a) dan (3b) ditetapakan bahwa WP dengan krieria tertentu dapat
melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1
(satu) SPT Masa. WP dengan kriteria tertentu dan tata cara pelaporan diatur
dengan atau berdasarkan PMK No.182/PMK.03/2007 sbb :
1. WP
dengan krieria tertentu dapat menyampaikan 1 (satu) SPT Masa untuk beberapa
Masa Pajak sekaligus yang meliputi :
a. WP
Usaha Kecil; terdiri dari:
1). WP Orang Pribadi yang menjalankan
kegiata usaha atau melakukan pekerjaan bebas, yang harus memenuhi kriteria sbb
:
·
WP Orang Pribadi dalam negeri; dan
·
Menerima atau memperoleh peredaran usaha
dari kegiatan usaha atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebas dalam Tahun
Pajak sebelumnya tidak lebih dari Rp. 600.000.000- (enam ratus juta rupiah)
2). WP Badan yang harus memenuhi
criteria sebagai berikut :
·
Modal WP 100%(seratus persen) dimiliki
oleh WNI
·
Menerima atau memperoleh peredaran usaha
dalam tahun Pajak sebelumnya tidak lebih dari Rp. 900.000.000-; atau
·
WP di daerah tertentu, adalah WP yang
tempat tinggal/kedudukan/kegiatan usahanya berlokasi di daerah tertentu yang
ditetapkan oleh Dirjen Pajak.
2. Tata
Cara pelaporan
a. WP
yang termasuk dalam kriteria tertentu yang bermaksud melaporkan beberapa masa
pajak dalam satu SPT Masa harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
kepada Dirjen pajak paling lambat 2 (dua) bulan sebelum dimulainya masa pajak
pertama yang oleh WP akan disampaikan dalam SPT Masa yang meliputi beberapa
Masa sekaligus.
b. Terhadap
pemberitahuan secara tertulis dilakukan penelitian;
c. Apabila
berdasarkan penelitian WP tidak memenuhi kriteria, Dirjen Pajak memberitahukan
secara tertulis kepada WP.
I.
WP PPh tertentu yang dikecualikan dari
kewajiban menyampaikan SPT.
Berdasarkan
PMK No. 183/PMK.03/2007 yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT dapat
diuraikan sbb :
a. Dikecualikan
dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 dan SPT Tahunan PPh Orang
Pribadi yaitu WP Orang Pribadi yang dalam satu Tahun Pajak menerima atau
memperoleh penghasilan neto tidak melebihi PTKP sebagaimana dimaksud UU PPh.
b. Dikecualikan
dari kewajiban menyampaikan SPT masa PPh Pasal 25 yaitu WP Orang Pribadi yang
tidak menjalankan kegiatan usaha ata tidak melaukan pekerjaan bebas.
J.
Sanksi Karena tidak menyampaikan SPT
Sanksi
bagi WP yang tidak menyampaikan SPT, dapat berupa sanksi administrasi ataupun
sanksi pidana. Sanksi administrasi dapat berupa denda sebgaimana diatur dalam
pasal 7 UU KUP atau berupa kenaikan sebagaimana diatur dalam pasal 13 ayat 3 UU
KUP. Sanksi Pidana dapat berupa kurungan atas tindak pidana kealpaan
sebagaimana diatur dalam pasal 38 UU KUP ataupun penjara atas tindak pidana
kesengajaan sebagaimana diatur dalam pasal 39 UU KUP.
K.
Surat Teguran atas SPT yang tidak
disampaikan.
Apabila
SPT tidak disampaikan sesuai batas waktu yang ditentukan atau batas waktu
perpanjangan penyampaian SPT Tahunan, dapat diterbitkan Surat Teguran (Pasal 3
ayat 5a UU KUP). Penerbitan Surat teguran, disamping merupakan bentuk pembinaan
terhadap WP, juga merupakan syarat bagi dikenainya WP yang bersangkutan dengan
sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat 1
huruf b dan Pasal 13 ayat 3 UU KUP.
L.
Sanksi administrasi berupa denda.
Pasal
7 ayat (1) UU KUP menyatakan apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka
waktunya atau batas waktu perpanjangan penyampaian SPT, dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar:
·
RP. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)
untuk SPT Masa PPN
·
Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah )
untuk SPT Masa lainnya
·
RP. 1.000.0000 ( satu juta rupiah )
untuk SPT Tahunan PPh WP Badan
·
Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah)
untuk SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi.
Ayat (2) menyatakan bahwa “Sanksi
administrasi berupa denda diatas tidak dilakukan terhadap :
a. WP
Orang Pribadi yang telah meninggal dunia
b. WP
Orang Prbadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
c. WP
Orang Pribadi yang berstatus sebagai WNA yang tidak tinggal lagi di Indonesia
d. BUT
yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi di Indonesia;
e. WP
Badan yang tidak melakukan usaha lagi tetapi belum bubar sesuai dengan
ketentuannya.
f. Bendahara
yang tidak melakukan pembayaran lagi;
g. WP
yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Per. Menkeu; atau
h. WP
lain yang diatur dengan atau berdasarkan PMK.
Yang dimaksud dengan WP lain tersebut
pada huruf h berdasarkan PMK No. 186/PMK.03/2007 adalah WP yang tidak dapat
menyampaikan SPT dalam jangka waktu yang telah ditentukan karena keadaan antara
lain :
· Kerusuhan massal;
· Kebakaran;
· Ledakan
bom atau aksi terorisme;
· Perang
antar suku;
· Kegagalan
system komputer administrasi penerimaan Negara atau perpajakan.
· Penetapan
WP tersebut dilakukan dengan Keputusan Dirjen Pajak
M.
Sanksi administrasi berupa kenaikan.
Sanksi
administrasi berupa kenaikan dapat dikenakan melalui penerbitan SKPKB, apabila
SPT tidak disampaikan dalam jangka waktunya dan setelah ditegur secara
tertulis, tetap tidak disampaikan pada waktuya sebagaimana ditentukan dalam
Surat teguran (Pasal 13 ayat 1 huruf b
UU KUP). Dari jumlah pajak dalam SKPKB yang diterbitkan ditambah dengan
sanksi administrasi berupa kenaikan sesuai dengan Pasal 13 ayat 3 UU KUP.
N.
Sanksi Pidana Kurungan.
Pidana
kurungan dalam Pasal 38 UU KUP dikenakan terhadap setiap orang yang karena
kealpaannya tidak menyampaikan SPT.
Pasal
38 UU KUP tersebut berbunyi: “Setiap orang yang karena kealpaannya : a. tidak
menyampaikan SPT; atau b.menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara dan perbuatan tersebut
merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud
dalam pasal 13A, didenda paling sedikit 1 kali jumlah pajak terutan yang tidak
atau kurang dibayar dan paling banyak 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 bulan atau paling
lama 1 tahun.”
O.
Hak WP berkaitan dengan penyampaian SPT.
Berkaitan
dengan kewajiban melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak
dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan melalui SPT, WP mempunyai
hak-hak sbb :
a. Memperpanjang
jangka waktu penyampaian SPT Tahunan
b. Membetulkan
SPT
c. Mengungkapkan
ketidakbenaran pengisian SPT.
1.
Memperpanjang Jangka Waktu penyampaian
SPT.
Hak WP untuk memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan
dinyatakan dalam Pasal 3 ayat 4 UU KUP yang berbunyi: “ WP dapat memperpanjang
jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis atau dengan cara lain kepada Dirjen pajak yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”
Ketentuan
sebelumnya melalui prosedur permohonan.
Hak ini diperlukan apabila WP baik Orang Pribadi maupun Badan ternyata
tidak dapat menyampaikan SPT dalam jangka waktunya karena luasnya kegiatan
usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan keuangan, atau sebab
lainnya sehingga sulit untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan memerlukan
kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan. Hak memperpanjang jangka
waktu penyampaian SPT Tahunan ini berguna bagi WP untuk menghindari sanksi
administrasi karena melakukan pelanggaran terlambat menyampaikan SPT Tahunan.
2. Akibat administrative penundaan
penyampaian SPT Tahunan.
Pasal 19 ayat 3 UU KUP menyebutkan “ Dalam hal WP
diperbolehkan menunda penyampaian SPT Tahunan dan ternyata penghitungan
sementara pajak yan terutang sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (5) kurang
dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang, atas kekurangan pembayaran pajak
tersebut dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian SPT
Tahunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c
sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan bagian dari
bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.”
Contoh : PT. ABC
setelah menyampaikan pemberitahuan tertulis menunda jangka waktu penampaian SPT
Tahunan PPh Badan Tahun 2009 (Tahun Takwim) sampai dengan tanggal 30 Juni 2010
dengan perhitungan sementara pajak terutang sebesar 100 juta dan kredit pajak
Rp. 80 juta. Kekurangan pajak (PPh Pasal 29) sebesar Rp. 20 Juta dilunasi pada
tanggal 25 April 2009. PT. ABC menyampaikan SPT sesungguhnya pada tanggal 30
Juni 2010 dengan jumlah pajak yang terutang sebesar Rp. 120 Juta. Kekurangan
pembayaran dilunasi tanggal 28 Juni 2010.
Dari kasus ini PT. ABC
dikenakan bunga selama 2 bulan (1 Mei 2010 s/d 28 Juni 2010) atau sebesar
2%x2xRp.20.000.000=Rp. 800.000,00
3. Membetulkan SPT
Pembetulan SPT
merupakan hak WP dalam hal terdapat kekeliruan pengisian SPT yang sudah
disampaikan, dengan syarat belum dilakukan pemeriksaan. Pembetulan dilakukan
antara lain untuk menghindari sanksi administrasi berupa bunga karena
pemeriksaan pajak. Kekeliruan pengisian SPT juga disebabkan karena kekeliruan
kompensasi kerugian sebagai akibat diterbitkannya SKP, SK Keberatan, SK
Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Pasal 8 ayat 1 UU KUP
menyatakan bahwa: “WP dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPT yang telah
disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Dirjen Pajak
belum elakukan tindakan pemeriksaan.” Pasal 8 ayat 1a UU KUP menyatakan:” Dalam
hal pembetulan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau
lebih bayar, pembetulan SPT harus disampaikan paing lama 2 (dua) tahun sebelum
daluwarsa penetapan”
·
Pernyataan tertulis dalam pembetulan SPT
dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam SPT
yang menyatakan bahwa WP yang bersangkutan membetulkan SPT (PP Nomor 80 Tahun
2007);
·
Yang dimaksud dengan ‘mulai melakuka
tindakan pemeriksaan” adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeiksaan Pajak
(SP3) disampaikan kepada WP, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang
telah dewasa dari WP.
·
Yang dimaksud dengan daluwarsa penetapan
adalah 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.
4.
Sanksi
Administratif akibat Pembetulan SPT Tahunan
Pasal 8 ayat 2 UU KUP
meyebutkan”Dalam hal WP membetulkan sendiri SPT Tahunan yang mengakibatkan
utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar,
dihitung sejak saat penyampaian SPT
berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.
5.
Sanksi
Administrasi akibat Pembetulan SPT Masa.
Pasal 8 ayat 2a UU KUP
menyatakan “Dalam hal WP membetulkan sendiri SPT Masa yang mengakibatkan utang
pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar,
dihitung sejak jatuh tempo pembayaran
smpai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan.”
Contoh : PT ABC membetulkan sendiri SPT
Masa PPN masa Januari 2010 pada tanggal 20 November 2010, semula menyatakan
jumlah Pajak keluaran yang harus dipungut sendiri sebesar Rp. 100 juta dan
kredit pajak Rp. 80 juta, dibetulkan menjadi jumlah pajak Keluaran yang seharusnya dipungut sebesar Rp. 130 juta
dan kredit pajak tetap. Kekurangan pembayaran pajak Rp. 30 juta dibayar pada
tanggal 18 November 2010.
Akibatnya
PT. ABC dikenai bunga 10 bulan (16 Februari 2010 s/d 18 Nopember 2010) atau sebesar
: 2% x 10 x Rp.30.000.000,00 = Rp. 6.000.000,00
6.
Pembetulan
SPT karena Kompensasi Kerugian .
Pasal 8 ayat 6 UU KUP
menyatakan bahwa : “WP dapat membetulkan SPT Tahunan yang telah disampaikan,
dalam hal WP menerima SKP, SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali Tahun pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak
sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang
telah dikompensasikan dalam SPT Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima SKP, SK Keberatan, SK
pembetulan Putusan banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat
Dirjen Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.”
Contoh : PT. A menyampaikan SPT Tahunan
PPh Tahun 2012 yang menyatakan:
Penghasilan neto sebesar Rp.200.000.000,00
Kompensasi kerugian berdasarkan SPT
Tahunan
PPh Tahun 2011 sebesar Rp.150.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp.50.000.000,00
Terhadap SPT Tahunan PPh Thn 2011
dilakukan pemeriksaan, pada tanggal 6 Januari 2013 diterbitkan SKP yang
menyatakan rugi Rp.70 Juta. Berdasarkan SKP tersebut Dirjen pajak akan mengubah
perhitungan Penghasilan Kena Pajak thn 20099 menjadi sbb :
Penghasilan Neto sebesar Rp.200.000.000,00
Rugi menurut SKP tahun 2011 sebesar Rp.70.000.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak Rp.130.000.000,00
Dengan demikian penghasilan kena pajak dari SPT yang
semula Rp.50 juta (Rp.200 juta – Rp.150 juta) setelah pembetulan menjadi Rp.
130 juta (Rp.200 Juta – Rp.70 Juta).
7.
Mengungkapkan Keidakbenaran Pengisian
SPT.
Mengungkapkan ketidakbenaran
pengisian SPT adalah hak WP, untuk menghindar dan kemungkinan dikenai
sanksi/hukuman pidana pajak.
a. Mengungkapkan Ketidakbenaran Pengisian SPT karena Kealpaan.
Pasal 8 ayat 3
menyatakan bahwa:”walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum
dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan WP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidak benaran perbuatan WP
tersebut tidak akan dilakukan penyelidikan, apabila WP dengan kemauan sendiri
mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan
kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi
adminstrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dan jumlah
pajak yang kurang dibayar”. Ketentuan ini dijelaskan oleh PP No. 74 Tahun 2011
sebagai berikut:
a)
Ketidakbenaran yang dilakukan WP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 adalah “Setiap orang yang karena kealpaannya: tidak menyampaikan
SPT atau menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan
setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A,
didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah, pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau
paling lama I (satu) tahun.”
b)
Pemyataan
tertulis harus ditandatangani oleh WP dan dilampiri dengan:
·
Perhitungan kekurangan pembayaran pajak yg
benar, dgn format SPT
·
SSP bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak.
·
SSP bukti
pembayaran sanksi administrasi denda sebesar 150 %.
c)
Terhadap WP yg telah mengungkapkan ketidakbenaran
Perbuatannya dan sekaligus melunasi kekurangan pembayaran pajak yang sebenarnya
terutang beserta sanksi administrasinya tidak akan dilakukan penyidikan
sepanjang tidak ditemukan data yang menyatakan lain dan pengungkapan
ketidakbenaran perbuatan tersebut.
d)
Apabila telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya
penyidikan tersebut diberitahukan kepada Penuntut Umum, kesempatan untuk
membetulkan sendiri sudah tertutup bagi WP yang bersangkutan.
b. Mengungkapkan kesalahan pengisian SPT setelah dilakukan pemeriksaan.
Pasal 8 ayat 4 UU KUP menyatakan bahwa:”Walaupun Dirjen Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Dirjen Pajak belum menerbitkan SKP, WP dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidak benaran pengisian SPT yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
b. Mengungkapkan kesalahan pengisian SPT setelah dilakukan pemeriksaan.
Pasal 8 ayat 4 UU KUP menyatakan bahwa:”Walaupun Dirjen Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Dirjen Pajak belum menerbitkan SKP, WP dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidak benaran pengisian SPT yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
a.
pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih
besar atau lebih kecil.
b.
rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi Iebih
kecil atau lebih besar;
c.
jumlah harta menjadi Iebih besar atau lebih kecil; atau
d.
jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil
dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan.
Mengenai sanksinya
diatur dalam Pasal 8 ayat 5 yang menyatakan bahwa:”Pajak yang kurang dibayar
yang timbul sebagai akibat dan pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (Jima puluh
persen) dan pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi oleh WP sebelum laporan
tersendiri dimaksud disampaikan.”
RH In-House Training
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Akuntansi dan Perpajakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar