UNDANG
UNDANG TENTANG
KETENTUAN
UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)
A. Landasan
KUP
Falsafah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak warga
Negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan,
adalah merupakan landasan yang melahirkan UU KUP. Dengan demikian, Pancasila
seharusnya menjiwai setiap ketentuan dan pelaksanaan pemungutan pajak di
lapangan.
Secara
formal landasan segala hukum pajak di Indonesia mengacu pada Pasal 23 ayat 2
UUD 1945 yang berbunyi:”Segala pajak untuk keperluan Negara berdasarkan
undang-undang”. Dalam penjelasanya diuraikan:”Betapa caranya rakyat sebagai
bangsa akan hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan
oleh rakyat sendiri, dengan perantaraan Dewan Perwakilannya. Oleh karena
penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan sendiri nasibnya, maka
segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, seperti pajak dan
pungutan-pungutan lainnya, harus ditetapkan dengan undang-undang, yaitu dengan
persetjuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Landasan hukum ini mengalami perubahan
melalui Amandemen ketiga UUD 1945 yang disahkan 10 November 2001 yaitu menjadi
pasal 23A dengan bunyi:”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan undang-undang”.
B.
Undang – Undang KUP
UU
KUP memuat ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang pada prinsipnya berlaku
bagi semua undang-undang pajak materiil, kecuali undang-undang pajak materiil
yang bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakannya. Undang-undang KUP telah mengalami tiga kali perubahan sejak
diundangkan pertama kali dengan UU No.6 Tahun 1983 yang mulai berlaku sejak 1
Januari 2004. Perubahan pertama dilakukan dengan UU Nomor 9 Tahun 1994 dan
mulai berlaku 1 januari 1995. Perubahan kedua dilakukan dengan UU nomor 16 Tahun 2000 dan mulai berlaku tanggal
1 januari 2001. Perubahan terakhir dilakuan dengan UU Nomor 16 Tahun 2009. Kebijakan/tujuan dilakukannya
perubahan keempat UU KUP adalah :
1. Meningkatkan
efisiensi pemungutan pajak guna mendukung penerimaan negara;
2. Meningkatkan
pelayanan, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat guna menaikkan daya
saing dalam bidang penanaman modal, dengan tetap mendukung pengembangan usaha
kecil dan menengah;
3. Menyesuaikan
tuntutan perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta perkembangan di bidang
teknologi informasi;
4. Meningkatkan
keseimbangan antara hak dan kewajiban;
5. Menyederhanakan
prosedur administrasi perpajakan;
6. Menerapkan
prinsip self assessment yang akuntabel dan konsisten;
7. Mendukung
iklim usaha ke arah yang lebih kondusif dan kompetitif;
8. Dengan
dilaksanakannya kebijakan pokok tersebut diharapkan dapat meningkatkan
penerimaan negara dalam jangka menengah dan panjang seiring dengan meningkatnya
kepatuhan sukarela para WP dan membaiknya iklim usaha.
C.
Self Assessment.
Salah satu ciri system pemungutan pajak
Indonesia adalah self assessment yaitu system pemungutan pajak yang memberikan
kepercayaan kepada masyarakat WP untuk menghitung , memperhitungkan, membayar,
dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang. Sistem pemungutan pajak
tersebut mempunya arti bahwa penentuan/penetapan , serta pelaporan secara
teratur tentang besarnya pajak terutang dan jumlah pajak yang telah dibayar,
sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan
dipercayakan sepenuhnya kepada WP. Administrasi perpajakan berperan aktif dalam
melaksanakan pengendalian administrasi pemngutan pajak yang meliputi
tugas-tugas pembinaan , pelayanan, pengawasan, dan penerapan sanksi perpajakan.
Jiwa Self Assessment tercantum dalam
pasal 12 UU KUP yang berbunyi :
1. Setiap
WP wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya SKP.
2. Jumlah
Pajak yang terutang menurut SPT yang disampaikan oleh WP adalah jumlah pajak
yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Apabila
Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) mendapatkan bukti jumlah pajak yang
terutang menurut SPT
sebagaimana dimaksud pada ayat(2) tidak benar, Dirjen Pajak menetapkan
jumlah pajak yang terutang.
Dari bunyi pasal 12 UU KUP tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa penghitungan pajak yang terutang (untuk Pajak Penghasilan
{PPh}, PPN dan PPnBM), pembayarannya ke kas Negara, dan pelaporannya diserahkan
sepenuhnya kepada WP serta tidak didasarkan pada SKP yang diterbitkan
administrasi pajak. Perhitungan, pembayaran dan pelaporan yang dilakukan WP
tersebut diangap benar (sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan) sepanjang Dirjen Pajak tidak dapat membuktikan sebaliknya. Pada
prinsip self assessment beban pembuktian
(bahwa pajak terutang
yang telah dilaporkan adalah tidak benar) berada di pihak fiskus (Dirjen
Pajak). SKP hanya diterbitkan oleh fiskus apabila perhitungan wajib pajak
tersebut tidak benar berdasarkan pada suatu pembuktian oleh fiskus.
RH In-House Training
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Akuntansi dan Perpajakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar